Gosiplicious – Jerome Polin memberikan sorotan tajam terhadap pernyataan Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, yang menyebut tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan masih dianggap ‘nombok’. Pernyataan ini muncul karena Adies menghitung biaya kos di sekitar Senayan yang ia klaim mencapai Rp78 juta per bulan. Namun, perhitungan tersebut langsung dikoreksi oleh Jerome melalui konten TikTok yang kini viral. Dengan gaya khasnya yang penuh sindiran satir, Jerome menegaskan bahwa logika yang dipakai Adies sangat keliru. Ia menyebut bahwa biaya kos Rp3 juta tidak boleh dikalikan dengan jumlah hari kerja. Jika hal tersebut dilakukan, maka hasilnya seolah menyamakan kos harian dengan tarif hotel bintang lima. Inilah yang membuat publik terheran-heran dan memicu gelombang kritik terhadap logika perhitungan seorang pejabat publik. Sindiran Jerome pun menjadi tamparan keras yang menggambarkan betapa jauhnya realita elite politik dengan kondisi masyarakat kecil.
“Baca juga: Gibran Dukung Penuh Komitmen Prabowo Berantas Korupsi“
Pernyataan Adies Kadir tentang biaya kos yang mencapai Rp78 juta per bulan berawal dari hitung-hitungan sederhana namun keliru. Ia menyebut harga kos Rp3 juta per bulan dikalikan dengan 26 hari kerja, sehingga totalnya mencapai Rp78 juta. Pernyataan tersebut menimbulkan kebingungan sekaligus gelak tawa masyarakat. Sebab, publik sadar bahwa satuan per bulan dan per hari tidak bisa dikalikan begitu saja. Jerome Polin, dengan kepiawaiannya dalam matematika, langsung meluruskan kesalahan ini. Ia menegaskan bahwa kos Rp3 juta sudah dihitung per bulan, bukan per hari. Sehingga jika dibandingkan dengan tunjangan Rp50 juta, justru masih ada selisih Rp47 juta yang bisa masuk ke kantong anggota DPR. Koreksi ini bukan hanya soal angka, tetapi juga menunjukkan betapa mudahnya logika publik bisa dipermainkan jika tidak ada yang berani bersuara.
Selain mengoreksi hitung-hitungan Adies Kadir, Jerome Polin juga menyampaikan sindiran bernada satir yang menyentuh hati banyak orang. Ia menyinggung kenyataan bahwa anggota DPR bisa mendapatkan Rp50 juta untuk tunjangan rumah setiap bulan, sementara di luar sana banyak rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam ucapannya, Jerome bahkan menyinggung tenaga kesehatan dan tenaga pendidik yang hidup dengan gaji sangat minim. Satir ini berhasil membuka mata publik tentang kesenjangan sosial yang semakin melebar. Dengan kalimat penutup “GWS deh,” Jerome seakan menyampaikan rasa frustrasi yang mendalam. Tak heran jika unggahan tersebut langsung viral, ditonton lebih dari 13,8 juta kali, dan menuai jutaan komentar dari netizen yang senada dengan pandangannya. Hal ini membuktikan bahwa kritik satir bisa menjadi senjata ampuh untuk menyuarakan keresahan rakyat.
Tak butuh waktu lama bagi publik untuk ikut bereaksi. Komentar netizen membanjiri unggahan Jerome Polin, sebagian besar menunjukkan kemarahan dan rasa kecewa terhadap pernyataan Adies Kadir. Banyak yang menyinggung soal tingginya gaji anggota DPR yang tidak sebanding dengan kesejahteraan rakyat. Ada pula yang membandingkan dengan nasib guru honorer yang hanya digaji ratusan ribu rupiah per bulan. Reaksi ini memperlihatkan betapa sensitifnya isu tunjangan dan gaji pejabat publik di mata masyarakat. Apalagi, kondisi ekonomi rakyat semakin sulit pasca pandemi dan krisis global. Dalam konteks ini, sindiran Jerome berhasil memantik diskusi besar tentang transparansi anggaran negara. Netizen melihat, jika hal sederhana seperti hitungan kos saja bisa keliru, bagaimana publik bisa percaya penuh pada kebijakan keuangan yang jauh lebih kompleks?
Mendapat kritik tajam dari publik, Adies Kadir akhirnya memberikan klarifikasi terkait tunjangan rumah DPR sebesar Rp50 juta. Ia menjelaskan bahwa tunjangan tersebut diberikan sebagai pengganti fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR di Kalibata yang kini telah dikembalikan ke negara. Menurutnya, pemberian tunjangan lebih efisien dibanding mempertahankan RJA yang membutuhkan biaya perawatan sangat besar setiap tahunnya. Namun, sayangnya klarifikasi ini tidak serta-merta meredam kritik publik. Netizen menilai, klarifikasi tersebut tidak menjawab inti masalah, yaitu hitung-hitungan yang keliru dan cara komunikasi yang terkesan meremehkan kondisi rakyat. Justru klarifikasi ini semakin mempertegas jarak antara kepentingan pejabat dan kebutuhan masyarakat yang sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah, menambahkan bahwa tunjangan rumah lebih efisien dibanding mempertahankan RJA. Ia menyebut biaya perawatan rumah jabatan mencapai ratusan miliar rupiah per tahun, sehingga tunjangan dianggap sebagai langkah penghematan. Namun, pernyataan ini tetap memunculkan tanda tanya besar. Apakah benar tunjangan sebesar Rp50 juta per anggota DPR adalah bentuk efisiensi, atau justru beban baru bagi negara? Kritik publik mengarah pada kebutuhan prioritas, di mana dana sebesar itu seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor pendidikan atau kesehatan yang jauh lebih mendesak. Pandangan ini menunjukkan adanya jurang persepsi antara elite politik yang berbicara soal efisiensi dengan masyarakat yang menuntut keadilan sosial. Perdebatan ini semakin menguatkan narasi bahwa transparansi anggaran negara harus diawasi secara ketat.
Kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak, baik pejabat publik maupun masyarakat luas. Dari satu pernyataan sederhana yang keliru, publik bisa melihat betapa pentingnya literasi matematika dalam kehidupan sehari-hari. Jerome Polin, dengan gaya komunikasinya yang ringan, berhasil menjadikan matematika sebagai alat kritik sosial yang tajam. Ia bukan hanya membongkar kesalahan logika, tetapi juga menyuarakan keresahan rakyat yang sering kali terabaikan. Bagi pejabat publik, kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap kata yang diucapkan akan selalu diawasi masyarakat. Sedangkan bagi rakyat, kritik Jerome menjadi inspirasi bahwa suara satir bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Pada akhirnya, sindiran ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal moralitas dan kepekaan sosial yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin bangsa.
“Baca selengkapnya: Sidang Lisa Mariana Kembali Seret Nama Baru“