Gosiplicious – Najwa Shihab kembali menjadi pusat perhatian publik. Bukan hanya karena gaya bicara tajamnya. Tetapi juga keberaniannya mengkritik kekuasaan secara terbuka. Sosoknya kerap dikaitkan dengan jurnalisme idealis. Namun, kritik juga datang dari berbagai pihak. Ada yang menilai pendekatannya terlalu provokatif. Bahkan dianggap menjurus ke arah aktivisme. Lantas, bagaimana dampaknya terhadap dunia jurnalisme di Indonesia? Apakah keberaniannya membuka ruang kebebasan? Atau justru menimbulkan polarisasi di kalangan wartawan? Pertanyaan ini penting untuk dibahas lebih dalam.
Najwa Shihab dikenal dengan pendekatan wawancara yang tajam. Ia sering kali mendesak narasumber untuk menjawab langsung. Teknik seperti ini memberi tekanan tinggi dalam diskusi. Namun, hal tersebut disukai oleh publik yang haus transparansi. Di sisi lain, sebagian menganggapnya kurang etis. Terutama bila narasumber tak diberi ruang penjelasan cukup. Kontennya jadi viral, tapi dinilai terlalu dramatik. Perdebatan muncul apakah ini edukatif atau hanya hiburan. Gaya ini kini ditiru banyak jurnalis muda. Dampaknya mulai terasa dalam praktik peliputan di lapangan. Terjadi pergeseran antara reportase objektif dan showmanship.
“Baca Juga : ALFI Berikan Alternatif untuk Menyelesaikan Kepadatan di Tanjung Priok”
Najwa Shihab menjadi ikon bagi generasi jurnalis muda. Banyak mahasiswa komunikasi mengidolakannya. Mereka tertarik pada jurnalisme kritis dan investigatif. Hal ini tentu berdampak pada metode belajar di kampus. Mahasiswa kini lebih aktif dalam pelatihan debat dan wawancara. Namun, beberapa dosen mengingatkan soal prinsip dasar jurnalisme. Objektivitas, akurasi, dan etika tetap harus dijaga. Sebagian mahasiswa terjebak pada gaya tanpa substansi. Mereka lebih fokus pada viralitas dibanding verifikasi. Ini tantangan tersendiri bagi institusi pendidikan jurnalistik. Mereka harus bisa menyeimbangkan idealisme dan disiplin fakta.
Tak sedikit politisi merasa terusik oleh Najwa. Ia beberapa kali menyoroti isu-isu sensitif seperti korupsi. Bahkan sempat mengundang ketegangan dengan pejabat tinggi. Pemerintah pun menyadari pengaruhnya sangat besar. Tayangan programnya sering viral dan memicu diskusi publik. Namun, tidak jarang pula muncul reaksi defensif. Pejabat memilih absen dalam undangan wawancara. Atau mengeluarkan pernyataan yang membantah narasi Najwa. Dalam konteks demokrasi, ini sebenarnya hal biasa. Tapi jika berujung pada pembatasan akses, ini jadi alarm bahaya. Karena itu, posisi Najwa di antara kekuasaan dan media jadi sangat strategis.
Najwa merupakan simbol media independen di mata publik. Ia tak berafiliasi langsung dengan partai atau kekuatan ekonomi besar. Namun, independensi selalu menjadi isu kompleks. Banyak media tetap harus tunduk pada kepentingan pemilik modal. Dalam konteks ini, figur seperti Najwa penting untuk keseimbangan. Ia memberi contoh bahwa jurnalis bisa bersikap kritis. Meski begitu, tekanan terhadap media makin tinggi. Banyak jurnalis kini bekerja dalam bayang-bayang sensor. Tak semua media punya ruang untuk seberani Najwa. Di sinilah muncul tantangan menjaga pluralisme pemberitaan. Figur publik seperti Najwa bisa membuka jalan, tapi tidak semua bisa mengikutinya.
“Simak juga: Vidi Aldiano Terjerat Sengketa, Hak Musik Dipertaruhkan”
Salah satu kritik utama terhadap Najwa menyangkut kode etik. Misalnya, saat ia mewawancarai kursi kosong. Banyak pihak menganggap aksi itu simbolik, namun tidak netral. Dewan Pers pun sempat menyinggung pentingnya keseimbangan. Najwa dianggap terlalu mengarahkan narasi ke arah tertentu. Ini memicu diskusi soal batas antara kritik dan framing. Dalam jurnalisme, framing bisa membentuk persepsi publik. Bila tidak hati-hati, bisa melanggar prinsip keadilan berita. Tapi bagi pendukungnya, Najwa hanya melawan dominasi kekuasaan. Perdebatan soal etika ini belum menemukan titik temu. Namun penting untuk terus dibahas di ruang-ruang akademik.
Najwa sangat aktif di media sosial. Ia memanfaatkan platform seperti Instagram, YouTube, dan Twitter. Kontennya disajikan dalam potongan video pendek dan menarik. Strategi ini terbukti ampuh menjangkau anak muda. Tapi juga mengandung risiko disinformasi. Potongan video bisa keluar dari konteks aslinya. Apalagi jika dipotong oleh pihak ketiga dengan niat framing. Najwa sendiri beberapa kali mengklarifikasi potongan video. Namun dampaknya kadung menyebar dan menciptakan bias. Media sosial menjadi pedang bermata dua bagi jurnalis. Di satu sisi membuka akses luas, di sisi lain menciptakan potensi distorsi. Maka, integritas digital harus terus dijaga oleh jurnalis.
Kepercayaan publik terhadap media sedang terpuruk. Banyak orang menganggap media berpihak dan tidak jujur. Dalam situasi ini, figur seperti Najwa memberi harapan baru. Ia dianggap jujur, tegas, dan berani menyuarakan kebenaran. Survei menunjukkan peningkatan kepercayaan publik pada jurnalis independen. Tapi ini juga berisiko menciptakan kultus individu. Bila media terlalu bertumpu pada satu sosok, ekosistem jadi rapuh. Keberlanjutan jurnalisme harus ditopang banyak figur. Bukan hanya Najwa, tapi juga jurnalis-jurnalis muda lainnya. Kepercayaan publik sebaiknya dibangun lewat institusi, bukan individu semata.